Ketika Sistem Dihadapkan dengan Kebersamaan

(sebuah catatan refleksi)

Ketika sistem dihadapkan dengan rasa kebersamaan kita, apa yang akan terjadi?. Itulah yang ada dibenak saya setelah mengikuti proses pemilihan Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa/i Papua (IPMAPA), walaupun tidak sampai selesai hingga penetapan ketua terpilih. Mengapa saya mengatakan demikian karena jujur saya merasa tidak dianggap sebagai mahasiswa Papua yang sedang mengeyam pendidikan di kota Yogyakarta dan memiliki hak untuk menetukan pemilihan ketua yang juga secara tidak langsung akan menentukan keberadaan saya sebagai mahasiswa Papua di kota Yogyakarta. Suara saya tidak diinginkan dan tidak dianggap untuk memilih ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) hanya karena terlambat untuk mendaftar sebagai pemilih.

Saya dapat menerima peraturan yang telah ditetapkan oleh panitia bahkan saya merasa telah berusaha semaksimal mungkin untuk menaatinya dari awal rapat hingga detik-detik terakhir pemilihan ketua. Saya merasa saya telah menghormati Panitia dengan datang tepat pada waktu yang pada awalnya telah ditetapkan oleh panitia dari awal sesuai undangan yang disebarkan yaitu pada hari sabtu 6 Februari 2010 tepat pukul 08.00 WIB bertempat di asrama Papua (Kamasan). Bukan seperti kenyataan bahwa panitia yang memulai kegiatan pada siang hari (saya kurang mengerti waktunya yang pasti ialah setelah pukul 11.00 WIB). Ternyata sewaktu saya sampai di tempat tujuan tidak ada sesuatu yang menandai bahwa proses pemilihan akan dimulai saat itu tepat pukul 08.00 WIB. Dengan sangat rela hati saya menunggu hingga pukul 11.00 tapi tetap juga tidak ada tanda-tanda acara akan dimulai.

Pada waktu itu saya memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu kedatangan teman-teman yang lain dan kesiapan panitia untuk memulai kegiatan disalah satu kamar kakak saya yang ada di Asrama Kamasan karena diajak oleh salah seorang kakak saya juga yang telah menunggu di depan sejak tadi pagi. Setelah kami keluar dari kamar dan hnedak mendaftar ternyata tempat mendaftar telah ditutup. Tepat pukul 14.05WIB.

Kami menerima keputusan itu dan memutuskan untuk menunggu menjadi yang terakhir walaupun datangnya awal dan tepat pada waktu yang telah ditetapkan awal dengan harapan bahwa setelah semuanya selesai kami akan diberi kesempatan untuk memilih ketua IPMAPA menggunakan hak kami sebagai mahasiswa Papua Yogyakarta.

Ternyata semuanya diluar dugaan saya, kami bersepuluh orang tidak memiliki hak sebagai pemilih karena belum terdaftar pada daftar pemilih. Itulah hasil keputusan sidang walaupun menurut saya sidang hanya dominasi oleh pendapat beberapa orang. Ternyata pengorbanan saya mengikuti sidang dari awal berpartisipasi didalam sidang sama sekali tidak dianggap dan dihormati dengan cara tidak ada hak pilih sama sekali. Dan pada saat itu juga banyak sekali yang mendukung kami untuk tidak memilih dan kegiatan harus dilajutkan. Dengan mengatakan kepada saya untuk berjiwa besar, saya terima!. Tapi saya ingin berbalik menanyakan apakah panitia tidak bisa berjiwa besar atas kami yang hanya sepuluh orang yang hanya tidak mengikuti pendaftaran nama pemilih untuk mendapatkan nomor urut untuk memilih. Memberikan waktu kami mungkin hanya 5 menit saja dari pada 10 menit untuk memanggil berulang-ulang kali 1 orang yang terdaftar tapi tidak ada di tempat sesuai sistem.

Memang sistem telah mengaturnya ketika pecoblosan selesai dilakukanlah penghitungan suara. Tetapi nasib kami yang hanya tidak mengikuti pendaftaran saja tidak diberi kesempatan, kami hanya bersepuluh tidak terlalu banyak, bukan satu koordinator wilayah (korwil). Mungkin panitia merasa sebagian besar mahasiswa telah memilih dan kami hanya kelompok minoritas maka hak pilih kami sudah tidak dibutuhkan dalam pemilihan tersebut. Tapi ingat walaupun kami hanya bersepuluh tapi kami memiliki hak yang sama dengan mahasiswa Papua yang lain untuk memilih.

Dimakah kebersamaan ?

Dimanakah kebersamaan kita sebagai orang Papua. Kalian semua mengajak kami yang hanya bersepuluh untuk berjiwa besar. Tapi apakah kalian juga bisa untuk berjiwa besar terhadap kami yang hanya 10 orang? hanya 0,01% dari mahasiswa Papua yang ada untuk menggunakan hak kami memilih? Dimakah kebersamaan kita sebagai mahasiswa Papua yang berasal dari Pulau Emas yang sangat kita bangga-banggakan bersama, yang pada saat ini sedang berdomisili di Yogyakarta. Ketika kami yang bersepuluh tidak menggunakan hak kami untuk memilihh? Kami hanya bersepuluh dan tidak banyak mungin hanya memerlukan waktu 5 menit untuk mengambil suara kami. Dari pada menghabiskan waktu 15 menit dengan memanggil satu nama orang yang terdaftar tetapi berkali-kali bahkan tidak hadir sebagai rasa hormat panitia terhadap mereka. Itu semua jikalau kami dianggap sebagai kelurga besar mahasiswa Papua. Tapi semuanya tidak begitu adanya. Memang sistem yang telah berlaku di negara kita ini seperti itu dan ketika suara terbanyak diambil maka suara terkecil dianggap sudah diwakili oleh sura terbanyak. Hm… tapi satu hal yang perlu diingat bahwa yang besar bisanya ditentukan dari yang kecil! Ketika yang kecil hancur akan berdampak besar tehadap yang besar karena yang besar terbentuk dari yang kecil!.

Ketika sistem telah mengatur

Ketika sistem telah mengatur kita, maka mata hati kita biasanya tertutup untuk menerima orang lain. Kita tidak menyadari bahwa sistem yang telah mengatur kita ini semakin membodokan kita dengan cara yang sangat pelan menghancurkan persaudaraan yang telah dibangun oleh nenek moyang kita. Kebiasaan orang Papua yang dulunya saling mengerti, membantu, dan hidupnya sosialis lama kelamaan dengan adanya sistem yang mengatur akan mengantarkan kita kepada manusia yang hidupnya (egois) individualis. Dan terjadinya kubu yang akan menghancurkan kita sendiri. Ketika sistem yang berlaku kita ikuti secara 100% tanpa memilah untuk memilih yang baik bagi kita dan sekaligus membaca situasi yang diciptakan dengan sengaja untuk menghancurkan kita, maka cepat atau lambat kita harus siap untuk hancur.

Itulah yang saya rasakan dan pikirkan kebersamaan telah dibutakan oleh sistem yang sedang mengatur. Kelompok minoritas selalu di pojokan oleh kelompok mayoritas karena otomatis kelompok mayoritas pasti memiliki suara terbanyak. Sayangnya ketika semuanya ini sedang melanda kita bersama, kita jarang dan sama sekali tidak menyadarinya bahkan kita tidak bisa untuk belajar berpikir secara kritis.

Mungkin semua yang saya tulis ini adalah perasaan kecewa saya yang saya lontarkan kepada mereka, walaupun hanya lewat tulisan ini. Maaf, bukanya saya bermaksud untuk mencemarkan nama baik kita bersama dan tidak menganggap kinerja panitia, tapi ini adalah resiko sebagai panitia dan inilah yang saya rasakan saat ini. Menurut saya ini bisa digunakan sebagai bahan refleksi bagi kita. Apakah kita semua ini, sebagai orang Papua yang siap dipermainkan dan pada akhirnya hilanglah rasa persaudaraan dan kebersamaan diantara kita sendiri? Lalu kalau begini terus kapan kita mau bersatu untuk melawan yang tak beres kalau diantara kita saja tidak beres?.

(dari yang merasa paling dikecewakan dan kecewa terhadap sistem)

Komentar

Popular

Contoh Alat Ungkap Masalah Siswa dan Lembar Respon dalam Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Alasan Memulai Kembali